Baru-baru ini, saya melihat lagi pertanyaan tentang mana yang terbaik antara sistem produksi push dan pull. Pertanyaan dalam bentuk polling ini diajukan oleh Dhiraj Bhanushali, seorang manajer marketing IQPC Asia, dalam grup LinkedIn: Lean Six Sigma. Selama sembilan hari, polling telah menyedot 196 voter dan 74 komentar — termasuk dua orang teman saya: Pak Guntar, business manager PT KMK Global Sports, dan Pak Baskoro, engineer PT Shneider Electrics Indonesia. Berikut  hasil polling sampai tanggal 29 April 2012:

polling-push-pull

Gambar 1. Pull vs. Push? (Sumber: LinkedIn, 29 April 2012)

Lebih dari setengah responden memilih sistem pull (55%), sedangkan pemilih sistem push hanya sekitar 7%, dan yang menyatakan tidak ada yang terbaik dari kedua sistem tersebut terdapat 2% pemilih.   Dhiraj juga memberikan opsi alternatif dengan mencantumkan pilihan sistem produksi cangkokan push dan pull  (sistem hybrid) yang dinilai terbaik oleh 28% pemilih dan sistem produksi lain di luar ketiga sistem tersebut yang dipilih 6% pemilih.

Tentang sistem push dan pull ini, saya juga telah membuat ilustrasi bagaimana sistem produksi push dan pull ini bekerja, lihat posting: Push System vs. Pull System, tetapi saya tidak memberikan penjelasan atas ilustrasi tersebut.  Perbedaan antara sistem push dan pull  menurut Venkatesh (1996) adalah sekedar paradigma operasional (Wibisono, 2004, p. 72). Hasil eksperimen Wibisono (2004) melalui pendekatan simulasi dengan software ProModel juga membuktikan bahwa pada sistem dengan buffer berukuran besar, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kinerja sistem push dan pull.

Sistem Push

Sistem push biasa diasosiasikan dengan sistem MRP (material requirements planning) sehingga kegiatan manufaktur direncanakan berdasarkan peramalan pasar (market forecast) daripada permintaan pelanggan yang sebenarnya. Secara implisit ini berarti:

  • Sistem mengandalkan suatu fungsi perencanaan secara terpusat.
  • Tingkat pelayanan (services  level) diyakinkan dengan meningkatkan atau menurunkan level persediaan barang jadi.
  • Sistem ini mengoptimalkan “efisiensi” daripada “efektivitas”.
  • Material mengalir dalam pabrik dalam bentuk  batch mengikuti  routing sheet yang telah ditentukan yang terlampir pada perintah kerja  (work order).
  • Ada ketergantungan pada heuristik untuk mengimbangi kompleksitas yang inheren pada masalah optimasi yang dihadapi.
  • “Horison perencanaan” dan “time fences” digunakan untuk menyesuaikan rencana produksi dalam basis mingguan atau bulanan berdasarkan pada hasil peramalan permintaan (demand forecast).
  • Membedakan antara permintaan dependen dan independen.

Secara ekstrim yang membedakan antara sistem push dan pull adalah adanya pengambilan keputusan terpusat dan tidak adanya komunikasi antara berbagai stakeholders, lihat aliran informasi pada Gambar 2 di bawah ini.

sistem-push

Gambar 2. Aliran Barang dan Aliran Informasi pada Sistem Push

Pengambilan keputusan terpusat tersebut biasanya menggunakan mekanisme MRP, Gambar 3 di bawah ini menunjukkan siklus standar MRP untuk perencanaan kebutuhan kapasitas atau CRP (capacity requirements planning). Pada tahapannya, perencana menggunakan teknik lot-sizing yang menentukan kuantitas order. Dalam upaya meningkatkan efisiensi biaya persediaan (biaya simpan dan biaya pesan/setup) yang optimal, teknik-teknik lot-sizing  berkembang hingga penggunaan teknik pencarian heuristik, seperti algoritma Wagner-Whitin dan metode Silver-Meal. Sistem seperti ini memang mengoptimalkan utilisasi tapi mengabaikan efektifitas.

standar-siklus-mrp

Gambar 3. Standar Siklus MRP

Sistem push bekerja berdasarkan data historis seperti data permintaan (demand) sebelumnya. Manufaktur memutuskan terlebih dahulu berapa banyak jumlah item  yang harus  diproduksi kemudian berharap itemitem  ini  sesuai permintaan pasar tanpa menyebabkan kelebihan persediaan.

Sistem Pull

Keberhasilan praktek manajemen Jepang  di bidang manajemen operasi (operation management) memunculkan istilah just-in-time (JIT), yaitu sistem produksi  yang membuat (mengirimkan) produk yang dibutuhkan pada waktu dan jumlah yang dibutuhkan sehingga mempertinggi efisiensi dan memungkinkan respon yang cepat untuk perubahan. JIT ini dibangun atas tiga prinsip operasi: pull system, continuous flow processing, dan takt time serta membutuhkan leveled production (heijunka) sebagai sebuah persyaratan.

Sejak kemunculan JIT itulah sistem manufaktur dikategorikan menjadi dua kutub: sistem pull sebagai prinsip operasi JIT dan sistem push untuk menyebut sistem lama yang dikoreksi JIT, yakni sistem manufaktur yang diasosiasikan dengan sistem MRP. Sistem pull memberikan arti pentingnya “pelanggan”. Sistem pull  memandang pelanggan adalah siapa saja yang membutuhkan hasil pekerjaan kita, yang berarti tidak harus mereka yang berada di luar perusahaan. Perencanaan manufaktur pada sistem pull ini adalah berdasarkan tarikan (pull) permintaan aktual pelanggan. Secara implisit ini berarti:

  • Pengendalian pelaksanaan produksi di sistem pull berada pada semua level pekerjaan.
  • Tingkat pelayanan (services  level) diyakinkan dengan meningkatkan atau menurunkan jumlah kanban antara stasiun kerja (WIP), bukan pada persediaan barang jadi.
  • Sistem pull mengoptimalkan “efektivitas” yang mana dicapai melalui improvement “efisiensi”  secara terus-menerus.
  • Material mengalir sepanjang pabrik berdasarkan antrian visual pada heijunka box yang dipicu oleh tarikan kanban pelanggan (final kanban).
  • Sistem ini sangat membutuhkan gaya penanganan manajemen langsung (hands-on management style).
  • Memanfaatkan semua tools dan prinsip-prinsip lean secara baik di seluruh rantai pasok, diantaranya 5S, kaizen, kanban, SMED, TPM, andon, heijunka, dan lain-lain.

Peramalan permintaan (forecast) pada sistem pull masih digunakan sebagai konsensus antara stakeholders (pelanggan, pemasok, dan manufaktur), konsensus ini diperlukan agar ada kesepahaman tentang kapasitas sistem dan jumlah kanban untuk menjaga kelancaran rantai pasok,  lihat aliran informasi pada sistem pull pada Gambar 4 di bawah ini.

sistem-pull

Gambar 4. Aliran Barang dan Aliran Informasi pada Sistem Pull

Sistem pull merupakan aksi untuk melayani permintaan yang menghendaki ketiadaan persediaan karena dipandang sebagai beban biaya. Karenanya dalam bentuk ekstrim, tidak ada pekerjaan  dalam sistem pull sampai manufaktur menerima order. Dalam dunia nyata, kurang tepat juga apabila dikatakan dalam sistem pull tidak ada persediaan (zero inventory), proses produksi dalam sistem pull mengalir dengan ekspektasi persediaan sekecil mungkin (few inventory).

Pros & Cons

Sistem push menawarkan skala ekonomis bagi manufaktur karena secara teoritis dapat menghasilkan persediaan suatu produk dalam satu waktu untuk memenuhi permintaan pada beberapa periode ke depan. Tentunya ini menghemat change-over antar produk dan meminimalkan gangguan akibat perubahan permesinan. Namun demikian, sistem push memerlukan banyak ruang penyimpanan untuk persediaan yang tidak terjual. Hal ini juga berisiko bagi manufaktur karena akan mengalami kekurangan persediaan atau kelebihan pasokan, tergantung pada bagaimana variasi yang terjadi pada peramalan permintaan.

Pada sistem pull tidak ada bahaya persediaan yang terbuang dan biaya rendah dalam menyimpan persediaan yang tidak terjual. Sistem pull juga mempunyai kelemahan terutama berkaitan dengan unsur-unsur waktu setup yang pendek dan ukuran lot yang kecil, karena masing-masing stasiun dalam proses harus dapat merespon dengan cepat pengisian ulang material.

Berikut beberapa kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem:

Kelebihan sistem push:

  • Menggunakan pendekatan umum dalam manajemen operasi.
  • Sangat  baik untuk melayani permintaan berfluktuasi. Manufaktur dapat menyimpan produk jadi untuk mengantisipasi permintaan atau dapat menciptakan permintaan baru dengan memasok produk dalam persediaan barang jadi.
  • Manufaktur mengendalikan kecepatan pengembangan produk. Setiap perubahan desain hanya dilakukan  bila desain saat ini sudah benar-benar usang atau ketinggalan zaman.
  • Mempunyai skala ekonomis dalam pembelian dan produksi.
  • Pelayanan pelanggan yang  lebih baik  dengan lead time lebih pendek dan lebih dapat diandalkan.
  • Mengurangi komponen  biaya pesan/setup dalam  biaya persediaan.
  • Memungkinkan untuk perencanaan dan penyelesaian perakitan kompleks karena sub-subkomponen dikirim hanya oleh kebutuhan yang dijadwalkan.
  • Efisiensi dalam produksi yang lebih besar karena ada perencanaan kuantitas order, menghemat change-over antar produk, dan meminimalkan gangguan akibat perubahan permesinan.
  • Kerumitan untuk mengoptimalkan efisiensi biaya persediaan menggunakan heuristik terbantu oleh ketersediaan software-software MRP/ERP.

Kelemahan sistem push:

  • Ketidakpastian, ketidakpastian peramalan penjualan produk akhir di masa depan dan ketidakpastian estimasi  lead time produksi dari satu level ke level yang lain. Hal ini  berisiko bagi persediaan.
  • Perencanaan kapasitas, masalahnya adalah meskipun ukuran lot pada level tertentu tidak melebihi kapasitas produksi, tapi tidak ada jaminan ketika ukuran lot diterjemahkan ke kebutuhan kotor (gross requirements) berada pada level terendah, kebutuhan ini juga dapat dipenuhi dengan kapasitas yang tersedia. Artinya, jadwal produksi yang layak pada satu level mungkin mengakibatkan jadwal kebutuhan tidak layak pada level lebih rendah.
  • Horison perencanaan, lingkungan perencanaan produksi  dalam prakteknya adalah dinamis. Sistem MRP mungkin harus mengulangi setiap periode dan keputusan produksi dievaluasi ulang.
  • Lead time bergantung pada ukuran lot, lead time sering dianggap tetap dalam sistem MRP. Dalam banyak konteks asumsi ini jelas tidak masuk akal. Yang diharapkan lead time meningkat seiring meningkatnya ukuran lot.
  • Proses produksi tidak selalu sempurna, asumsi yang dibuat dalam MRP adalah tidak ada cacat produk. MRP menghitung kebutuhan komponen dan subassembly tepat sesuai ramalan permintaan produk akhir, kerugian karena cacat produk secara serius dapat mengganggu keseimbangan produksi.
  • Data terintegrasi, jika ada kesalahan dalam data persediaan, maka output data BOM  (bill of material) atau data MPS (master production schedule) juga akan salah.
  • MRP mengabaikan kerugian akibat cacat atau downtime mesin.
  • Dalam sistem di mana komponen yang digunakan dalam beberapa produk, perlu untuk mematok setiap order ke level item tertentu yang lebih tinggi.
  • Dalam aliran produk membutuhkan perhatian lebih untuk menjaga efektivitas aliran produk.

Kelebihan sistem pull:

  • Menghilangkan kompleksitas penjadwalan.
  • Mengurangi persediaan barang dalam proses (WIP).
  • Memiliki persediaan yang lebih rendah, ini berarti pengurangan ruang penyimpanan yang menghemat biaya sewa gudang dan asuransi.
  • Persediaan hanya dihasilkan ketika dibutuhkan, modal kerja yang rendah diinvestasikan dalam persediaan.
  • Berkurangnya kekhawatiran persediaan akan terbuang karena usang atau ketinggalan zaman.
  • Menghindari penumpukan produk jadi yang tidak terjual yang dapat terjadi karena adanya perubahan mendadak dalam permintaan.
  • Menyediakan suatu sistem bersama untuk perpindahan  material diantara fasilitas produksi.
  • Mendorong unit produksi untuk melaksanakan preventive maintenance (PM) yang mengurangi downtime mesin.
  • Berkurangnya waktu untuk inspeksi kualitas dan pengerjaan kembali produk (rework)  karena anggapan “pelanggan” pada proses selanjutnya (downstream) menyebabkan terjadinya mekanisme: “jangan menerima produk cacat, jangan membuat produk cacat, dan jangan mengirim produk cacat”.

Kelemahan sistem pull:

  • Setiap pekerjaan adalah order dengan tekanan yang tinggi (rush order).
  • Reaksi waktu yang lama untuk perubahan dalam permintaan, karenanya sistem pull akan sangat baik jika menggunakan penjadwalan  heijunka.
  • Terdapat sedikit ruang untuk kesalahan ketika stok minimal disediakan untuk pengerjaan kembali produk yang rusak.
  • Produksi sangat bergantung pada pemasok dan jika persediaan tidak dikirimkan tepat waktu, jadwal seluruh produksi dapat tertunda (delay).
  • Persediaan dilimpahkan atau didorong ke pemasok.
  • Membutuhkan kehandalan dan kelincahan pemasok yang lebih tinggi.
  • Akan sulit jika terdapat banyak pemasok terutama jika salah satu pemasok memiliki daya tawar yang lebih tinggi tapi tidak mau masuk dalam sistem pull yang diterapkan manufaktur.
  • Tidak ada cadangan produk jadi yang tersedia untuk memenuhi order tak terduga, karena semua produk dibuat untuk memenuhi order yang sebenarnya.
  • Mengabaikan pola permintaan di masa mendatang

Pada kenyataannya, sedikit sekali perusahaan yang mengadopsi sistem pull atau sistem push secara murni. Sebagai contoh menurut Wibisono (2004), Toyota yang sering diacu sebagai referensi sistem pull klasik menerapkan sistem push pada proses pembuatan mobil berdasarkan analisis pasar dan penetapan target produksi. Tetapi pada proses perakitan di dalamnya diterapkan sistem pull untuk memastikan ketersediaan komponen-komponen subassembly. Ketika magang di Sunter, Jakarta, saya juga menjumpai kenyataan salah satu pemasok Toyota yang menerapkan sistem pull masih mempertahankan persediaan pada tingkat rendah dan mengisinya kembali sesuai dengan permintaan. Dengan begitu pemasok tersebut dapat  merespon permintaan dengan cepat.

Demikian juga pada beberapa lingkungan push sering ditemui beberapa unsur tanggap permintaan pada aliran informasi dalam prosesnya. Sebagai contoh, perusahaan membuat kebutuhan komponen dan subassembly berdasarkan sistem push, tapi kemudian menyelesaikan produk akhir sesuai dengan kebutuhan spesifik dari masing-masing pembeli.

Masing-masing sistem akan sangat baik jika menerapkan perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dan penghapusan pemborosan (waste). Di lapangan, sistem pull akan terlihat memberikan umpan-balik visual dan real-time untuk improvement sementara sistem push cenderung menyembunyikan inefisiensi. Keberhasilan penerapan sistem pull membutuhkan kerjasama yang kuat dengan pemasok  untuk membuka arus biaya pemesan persediaan via kanban. Tak heran apabila Toyota berhasil menerapkan sistem pull adalah berkat kuatnya supply chain management (SCM) mereka, terhitung yang nampak dipermukaan saja terdapat 248 perusahaan yang tergabung dalam kongsi dagang Toyota yang dikenal dengan istilah jaringan keiretsu.

Rujukan:


Hoey, J., Kilmartin, B. R., & Leonard, R. (1986). Designing a material-requirements-planning system to meet the needs of low-volume, make-to-order companies (with case study). International Journal of Production Research, 24(2), 375–386. doi: 10.1080/00207548608919735

Hopp, W. J., & Spearman, M. L. (2004). To pull or not to pull: What is the question? Manufacturing & Service Operations Management, 6(2), 133–148. Retrieved from http://www2.isye.gatech.edu/~jvandeva/Classes/6203/2007/PushPull.pdf

Karmarkar, U. S. (1991). Push, pull and hybrid control schemes. Tijdschrift voor Econornie en Management, 36(3), 345–363. Retrieved from http://www.econ.kuleuven.be/tem/jaargangen/1991-2000/1991/TEM1991-3/TEM1991-3_345-363p.pdf

Kusnadi, E. (2008). Praktikum sistem produksi di lingkungan Toyota Production System: Studi kasus Lini Air Filter 4WV PT Denso Indonesia. Unpublished industrial internship report, Program Studi Teknik Industri, Universitas Mercu Buana, Jakarta.

MIT LFM. (2004). Forecast “push”, customer “pull”, and hybrid models. MIT’s ESD.60 – Lean/six sigma systems. Massachusetts: MIT LFM Program.

Wibisono, E. (2004). Komparasi sistem manufaktur push dan pull melalui pendekatan simulasi. Jurnal Teknik Industri, 6(1), 71–78. Retrieved from http://puslit.petra.ac.id/journals/industrial

2 thoughts on “ Pros & Cons dari Sistem Push dan Pull ”

  1. maaf, penerapan sistem Pull atau Push ini apa bergantung juga pada Strategi perusahaan dalam produksinya yang biasanya terdiri dari MTO and MTS ?

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.