Segelas kopi di sebelah kiri laptop ku terasa nikmat sekali. Aku hampir lupa tugas Deming’s View yang dibilang Tugas Besar itu. Suasana selepas hujan diluar rumah sana menyisakan nyanyian-nyanyian kodok. Itu satu-satunya suara alam yang masih terdengar di Kota Serpong. Kota? Yah anggap saja kota. Entah apa definisi kota itu? Serpong yang kurasakan sepuluh tahun yang lalu, sungguh sangat berbeda dengan sekarang.
Pesatnya pembangunan menyisakan banyak masalah, setidaknya bagiku adalah kemacetan dan polusi udara (curheart). Beberapa tahun terakhir ini, titik-titik kemacetan semakin bertambah, lihat saja misalnya lampu merah bunderan Alam Sutra, penumpukan angkot di depan Mall WTC, lampu merah perempatan German Center, dan pastinya pertumbuhan pedagang kaki lima di Pasar Serpong.
Yang memungkinkanku “galau permanen” adalah ketika naik angkot dari Kebon Nanas ke Serpong. Dari Kebon Nanas biasanya akan ada the little boy or the little girl yang naik untuk menghibur penumpang sampai depan Hotel FM3. Lanjut depan WTC akan masuk teman seprofesinya yang lain yang akan menghibur sampai ITC. Mentok di lampu merah German Centre sambil menunggu lampu hijau berbagai jenis aliran musik mulai dari pop melayu yang lagi ngetrend sampai lagu punk rock jalanan siap menemani. Selanjutnya angkot berbelok ke arah kanan memasuki jalan raya lama. Apakah konser berakhir?
Belum, hiburan kembali datang ketika memasuki Perancis (perempatan Cisauk) dan melantun sampai dengan palang pintu kereta api di Serpong. Begitu juga ketika turun di Pasar Serpong saat menikmati sepiring nasi goreng hangat. Yang membuatku DILEMA also known by the Ababil or Abegeh as GALAU adalah dalam making sense of social karena jika mereka kita beri uang “jasa suara”, itu sama halnya kita ikut berperan menaikan trend profesi seniman jalanan, apa mau bangsa kita mayoritas berprofesi seperti itu setelah dicap bangsa pembokat oleh bangsa lain. Lapangan kerja baru-kah, kreativitas anak-anak jaman sekarang-kah, masalah sosial-kah, atau kah-kah-kah yang lain? Rasanya sepuluh tahun yang lalu di Serpong tidak ada yang seperti ini.
Jika anda jalan-jalan ke BSD, anda akan kagum dengan pesatnya pembangunan perumahan elit itu, belum lagi kawasan sekitarnya (Gading Serpong dan Alam Sutera). Tapi cobalah pergi ke belakang kawasan tersebut, ternyata masih ada bangunan rumah yang terbuat dari bilik bambu, atau keluarga pra sejahtera yang masih menggunakan kayu bakar (yang mereka pungut dikawasan elit tadi) untuk memasak. Belum lagi masalah-masalah pembebasan lahan yang dilakukan para pengembang kawasan yang masih menyisakan duka lara bagi sebagian penduduk pribuminya.
Masih banyak masalah lain akibat pesatnya pembangunan kota, kalau disebutkan pastinya akan nampak lebih galau. Rakyat sepertiku memang hanya bisa mengeluh. Pikiranku teringat lagi ke tugas Deming’s View yang belum kelar. Deming (William Edwards Deming) adalah seorang ahli kualitas. Dalam konteks kualitas, Rakyat adalah konsumen pemerintah, konsumen yang terbaik adalah konsumen yang paling banyak complain. Pemerintah harus punya visi melayani agar kualitas bagus. Teori negara liberal mengusulkan fungsi pemerintah cukup menyediakan pelayanan publik yang bagus, menjaga keamanan, dan menegakan hukum. Jika tiga ini saja dijalankan dengan baik, kegalauan-kegalauan rakyat akan berkurang. Semoga.
Serpong, Malam yang galau 3/12/2011.