Kali ini, aku ingin bercerita tentang sesuatu yang kadang membangkitkan birahi laki-laki. Bukan karena birahiku sedang tinggi malam ini, tapi karena aku sedang mengingat masa lalu, masa-masa ketika aku kuliah di semester tiga.

Saatnya kuliah!

Jam 7.30 pagi, aku dan Budi sudah naik angkot (angkutan kota) dari Kebon Jeruk menuju kampusku di Meruya. Di dalam angkot, kami berdua asyik ngobrol sehingga tidak terasa sudah sampai tujuan. Kami pun segera turun dari angkot, tapi ada seorang mahasiswi yang ingin turun juga. Kami menyilahkannya turun duluan (ladies first, lah!). Bukan tidak sopan, tapi memang ‘gerakan alamiah’ jika seseorang ingin turun dari angkot harus menunggingkan pantatnya di depan muka penumpang lain. Namun kali ini, fokus pandangan kami terkonsentrasi “kearahnya” karena ada sesuatu yang menarik perhatian naluri laki-laki. Di seberang mata kami terlihat parit sempit di antara dua bukit pinggang belakang mahasiswi itu. Jika tidak dicegah, mungkin Budi akan memasukkan uang logam yang sedari tadi dia pegang. “Celengan babi!” ujarnya dengan suara keras (sempat membuat penumpang lain tersenyum).

“Godaan awal!” pikir Budi, “Rezeki pagi hari!” pikirku.

Selanjutnya di kampus, aku dan Budi serta teman-teman sejurusan lainnya terbiasa menunggu jam kuliah di tempat di antara Gedung B dan Gedung D. Kami kuliah di Gedung D. Para mahasiswi sebuah fakultas yang “terkenal” (karena dandanannya yang menggoda) sering terlihat lewat setiap kami menunggu jam kuliah. Jarak antara Gedung B dan Gedung D memang memiliki lalu lintas yang cukup padat. Para mahasiswi fakultas “itu” harus berpindah-pindah kelas dari Gedung E (dibelakang Gedung D) ke Gedung C (di depan Gedung B). Mungkin sekitar setengah dari mereka berpakaian dengan memperlihatkan belahan dada. 8 dari 10 dari mereka memakai celana dan baju ketat. Bagi lelaki normal dan memiliki iman; seperti Okie, Endang, dan Amin, ini dilema: mereka tahu bahwa aurat itu tidak terlalu terbuka, tapi “tonjolan”-nya tetap menggoda. Ingin rasanya Pras mengalihkan perhatian, tapi masalahnya ada di mana-mana, tengok kiri ada, tengok kanan ada, tengok belakang? nabrak tembok! Ingin pindah tongkrongan, tapi itu fixed area yang strategis, efektif, dan efisien. Mungkin perlu ada Musyawarah Besar Himpunan untuk memindahkan tongkrongan. Jadi nikmati saja! kata Harun.

Bagi para calon pemikir sosial; seperti Doni, Januar, dan Farhat, cara kebanyakan perempuan berpakaian tersebut jelas merupakan bagian dari budaya. Budaya kampus mencerminkan budaya masyarakat modern. Pemandangan serupa juga dapat kita temui di tempat-tempat umum di mana saja, baik di kampung maupun di kota. Tidak hanya di negeri kita, tapi sudah membudaya secara global. Bagi Ucok, Winda, Astri, Lucy, Fadilah dan teman-teman sejurusan lain (yang pernah belajar banyak tentang industri) memahami betul bahwa keseragaman cara berpakaian ini dibuat oleh industri. Dalam ekonomi kapitalisme seperti sekarang, kantong-kantong modal dan industri merupakan pusat syaraf kebudayaan yang menentukan ‘merah-hijau’-nya warna kebudayaan.

Aku jadi teringat ketika diskusi dengan teman-teman: “Tujuan kita belajar teknik industri, untuk apa?” tanyaku (aku heran: kenapa dinamakan teknik/engineering, tapi seluruh bidang ilmu dipelajari?). Ikha menjawab: “Karena kita harus merekayasa/meng-engineer sumberdaya-sumberdaya se-efektif dan se-efisien mungkin untuk mendapatkan laba industri yang sebesar-besarnya”. Oh! jadi sama dengan Prinsip Ekonomi: “mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”. Aku jadi berasumsi bahwa industri mungkin mempengaruhi masyarakat agar dengan harga yang sama atau bahkan lebih mahal, masyarakat mau membeli “pakaian irit bahan” dibandingkan membeli busana muslimah (contoh busana yang boros bahan).

Okeylah kalo begitu! Agar tidak sekedar berasumsi, mari kita tengok perkembangan busana perempuan semenjak Revolusi Industri yang telah mengubah teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19!

Kalau anda pernah menonton film-film Hollywood yang bersetting abad 18-19, seperti film The Young Victoria, anda akan melihat cara berpakaian wanita Eropa yang serba tertutup, rok berlapis-lapis dengan petticoats (rok dalam yang membuat rok mengembang permanen). Masa inilah yang dinamakan era victorian karena gaya berpakaian perempuan banyak dipengaruhi oleh Ratu Victoria dari Inggris (naik tahta: 1837-1901). Anda bisa melihat sisa peninggalannya pada pakaian pengantin orang bule yang gaunnya memanjang dan mengembang di bagian pinggul, hanya saja sekarang telah diinovasi dengan pembukaan di bagian atas dadanya.

Jauh sebelum era victorian, ada era yang dinamakan era directoire and empire (1795-1815) dan era romantic (1815-1840). Pada era directoire and empire, busana perempuan berbentuk panjang, tanpa korset, sempit, dan berpinggang tinggi (high-waisted) di bawah payudara. Kemudian, busana mulai terbagi ke dalam blus dan rok pada era romantic. Rok di sini berlapis-lapis (menghindarkan dari hawa dingin), mengenakan korset, dan pinggang kembali pada posisinya.

Ketika pembuatan sepeda mulai meng-industri di tahun 1890an, celana olahraga dan pakaian santai (casual) mulai diperkenalkan secara umum. Era ini dinamakan era art nouveau (1890-1911). Kemudian busana bergerak lebih santai, agak ketat, dan rok mulai naik ke mata kaki dalam era yang disebut era awal art deco (1911-1929), di mana apresiasi terhadap fashion semakin tumbuh seiring dengan pertumbuhan populasi kaum terdidik. Jika anda lihat buku sejarah, pada era ini terjadi Perang Dunia I yang menyisakan banyak janda-janda muda. Percaya atau tidak bahwa pertumbuhan janda-janda muda ini melatarbelakangi era awal art deco.

Era awal art deco berakhir, muncul era yang dinamakan era akhir art deco (1930-1946). Bagi anda yang pernah belajar Mazhab Keynesian di Pengantar Ilmu Ekonomi mungkin tahu bahwa pada era ini terjadi depresi ekonomi hebat di seluruh dunia yang mengakibatkan terjadinya gelombang pengangguran besar-besaran. Perempuan pun terpaksa ikut menjadi tulang punggung keluarga, terlebih ketika diberlakukan wajib militer Perang Dunia II di tahun 1941, di mana para perempuan banyak yang menggantikan posisi laki-laki di perkantoran dan pabrik-pabrik. Untuk menunjang aktivitas kerjanya, kaum perempuan mulai memakai baju tangan pendek dan rok sebatas lutut. Pada era ini juga, fantasi film-film Hollywood mulai mempengaruhi dunia fashion. Aksentuasi erotisme tubuh perempuan mulai muncul di dunia fashion, seperti bahu dan punggung terbuka pada busana pesta.

Pasca Perang Dunia II, kaum laki-laki kembali bebas memilih karier dan kaum perempuan merasa tenang menjadi ibu rumah tangga sehingga cita rasa feminin mendominasi busana perempuan, seperti busana dengan keliman panjang, bahu sempit, ketat di tubuh, dan rok bulat (bukan V). Era ini dinamakan era akhir perang: the new look (1946-1955). Dilanjutkan oleh era akhir perang: St. Laurent (1955-1963), di mana para perancang mempengaruhi rancangan busana perempuan yang mengesankan kemewahan. Salah satu perancangnya adalah Yves St. Laurent (asistennya Christion Dior).

Ekspresi secara blak-blakan dalam fashion mulai terlihat sejak tahun 1963. Saat itu, isu sentral dunia diwarnai oleh gerakan penegakan hak-hak sipil dan perempuan serta Perang Vietnam. Tatanan sosial dan politik bergolak. Di sini muncul era yang dinamakan era baby boomers (1963-1973), seiring munculnya generasi baby boomers (generasi sekolahan) yang bercirikan pribadi muda yang eksperimentatif, revolusioner, dan inovatif. Fashion mereka merefleksikan semangat tersebut, misal munculnya rok mini. Untuk pertama kali, fashion tidak lagi didikte oleh perancang, tapi justru lahir dari jalanan.

Demikianlah, sejarah busana perempuan sampai munculnya ekspresi blak-blakan dalam dunia fashion. Perubahan sosial banyak mempengaruhi gaya busana perempuan. Namun, asumsi kita bahwa ada dikte industri terhadap gaya busana perempuan bisa saja tepat karena sepanjang sejarahnya banyak didikte oleh penguasa dan perancang busana.

Apabila kita melihat majalah kaum perempuan–yang berisi ulasan fashion, kosmetik, selebritas, dll.–sekilas majalah itu ingin menampilkan komoditas saja, tetapi sesungguhnya majalah itu sedang berusaha menjual sebuah dunia. Disinilah, industri secara efektif melakukan pencitraan terhadap pakaian. Pernah teman-teman; seperti Hari dan Lukman, berkomentar: “cewek SMA jaman sekarang cakepcakep, nyesel gue sekolah duluan!”. Memang, perempuan jaman sekarang terlihat cantik-cantik. Pencitraan yang secara efektif dimediasi oleh majalah-majalah tersebut telah mengantar (memaksakan) perempuan menjadi lebih ideal. Mandiri tapi feminin. Berkarir tapi ratu rumahan yang baik. Gemuk tapi fashionable. Jelek tapi sensual.

Sejarah telah memperlihatkan kepada kita bahwa pakaian bukan saja merupakan seperangkat obyek materi untuk menutupi tubuh dan menghangatkan badan pemakainya, tapi juga suatu kode simbolik untuk mengomunikasikan keanggotaan pemakainya dalam kehidupan sosial. Jadi, tidak kurang ajar apabila Budi dan teman-teman lainnya memandangi paha dan dada perempuan yang agak terbuka itu sampai puas karena yang namanya kode simbolik ditujukan untuk dilihat. “Masalahnya itu aurat bukan mahrom, dan memandanginya itu dosa!” kata Fery. “Itu juga tidak sesuai adat ke-Timuran!” kata Marlon.

Banyak di antara kita menganggap persoalan paha dan dada ini adalah akibat dari kedatangan budaya Barat. Namun jika kita melihat kembali era victorian yang kala itu begitu dominan dan represif mengatur tingkah laku seksual, nenek moyang kita di Timur malah sedang akrab dengan kebaya. Kebaya jelas lebih erotik ketimbang busana perempuan yang lazim dikenakan pada era victorian di Barat. Bahkan kita mungkin dapat sepakat bahwa kebaya tidak kalah erotik ketimbang rok mini. Agaknya, persoalan paha dan dada ini tak bisa diamati sebagai fenomena kultural karena citra erotik sudah melekat dalam diri kaum hawa sejak jaman baheula. Perlu ada PDKT (pendekatan) psikoanalisis terhadap perempuan.

Kali ini, kita akan PDKT dan mengaji kepada Kang Freud (Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis), di sana ada teori mengenai “kecemburuan anak perempuan terhadap penis” (penis envy). Kecemburuan yang dimaksud adalah kecemburuan yang muncul ketika anak perempuan melihat bahwa dirinya tidak memiliki penis. Konsekuensi jangka panjangnya adalah munculnya tiga bentuk sisa-sisa kecemburuan (residual of penis envy), yaitu: menjadi narsis, berfokus pada penampilan fisik, dan memiliki rasa malu yang besar. Ketiga hal ini menjadikan seorang perempuan terlatih untuk meneliti dirinya sendiri dari semenjak kecil sehingga menjadi preseden historis yang mesti ditanggung sepanjang hayatnya untuk selalu melihat diri sendiri sebagai obyek dan juga sebagai pribadi yang sedang dilihat laki-laki.

Pada awalnya, gerakan feminis gerah dengan eksploitasi aspek fisik perempuan. Namun, musuh utama yang sebenarnya bukan di luar mereka, tapi–berdasarkan psikoanalisis di atas–justru datang dari diri mereka sendiri. Industri hanya telah berhasil membidik apa yang diinginkan perempuan. Dan hasilnya sekarang masyarakat dipaksa menerima realitas bahwa laki-laki boleh jelek, asal pintar. Tapi, perempuan (dengan cara apa pun) harus cantik (atau seksi) dan kalau bisa (entah bagaimana caranya) harus pintar.

Berdandan tentu sah-sah saja. Namun jika perempuan terus-menerus meneliti diri sendiri sebagai obyek demi menarik perhatian (laki-laki), maka perempuan bisa lupa mengembangkan sisi-sisi lain yang lebih penting. Perempuan baik-baik tidak ingin dicintai hanya karena penampilannya karena dia berpikir dia akan selalu mudah dilukai oleh perempuan lain yang lebih cantik atau seksi. Dan percayalah bahwa laki-laki dewasa yang baik-baik akan melihat perempuan itu bak sebuah Lukisan. Dandanan itu ibarat bingkai-nya. Sebuah lukisan yang buruk dengan bingkai yang indah hanya akan dilirik sesaat oleh si laki-laki.

Wallâhu a’lam bi ash-shawwâb.

 

 

Serpong, Malam Jumat Kliwon 06/05/2010

 

 

Bahan bacaan:


Freud, S. (2003). Teori seks (A. Danarto, Trans.). Yogyakarta: Jendela.

Jirousek, C. (1995). Dress, fashion, and social change. Retrieved May 4, 2010, from http://char.txa.cornell.edu/art/dress/dress.htm

2 thoughts on “ Tentang Persoalan Paha dan Dada ”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.