Yerusalem, 2 Oktober 1187. Suasana begitu mencekam. Debu tebal menyelimuti kota. Kota tempat lahir para nabi ini telah porak-poranda. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Ini hari adalah hari ketiga perang. Ada ketakutan, ada bayangan akan terjadi penjagalan manusia besar-besaran. Tiba-tiba suasana kota menghening. Semua mata tertuju pada pertemuan dua orang perwira militer di luar tembok kota.

Tampak di luar gerbang kota suci itu, Sultan Saladin (Sholahuddin Yusuf Al-Ayyubi) sedang berdiri tegap berhadapan dengan Balian of Ibelin, panglima Tentara Salib. Di pinggang kedua perwira itu terhunus pedang tajam. Keduanya siap untuk saling bunuh.

Ratusan ribu tentara Islam berbaris di belakang Saladin. Di belakang Balian, ribuan tentara crusade bersiap mempertahankan diri. Sementara dari balik gerbang, warga Kristen Yerusalem ber-H2C (harap-harap cemas) menanti apa yang bakal terjadi. Balian memulai pembicaraan. Saladin tersenyum, matanya menatap tajam lawan bicaranya.

Balian: “Ketika Tentara Salib merebut Jerusalem seratus tahun yang lalu, seluruh Muslim dibantai dan kepala mereka dipenggal di benteng benteng”

Saladin: “Aku Saladin, bukan mereka. Pergilah ke negeri-negeri Kristen, bawa Ratumu, pasukanmu, dan rakyatmu yang memang ingin pergi. Tak ada pembunuhan, kami menjamin keselamatan kalian sampai ke kapal”

Balian: “Jika begitu, aku serahkan Jerusalem kepada Anda, Assalammualaikum!”

Saladin: May the peace be with you

 

 

***

 

 

Serpong, 20 Maret 2010. Suasana begitu menghening. Terdengar sayup-sayup dari mesjid seberang, seorang ustadz sedang memberikan tausyiah tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di dalam kamar sebuah rumah, aku sedang terduduk sendirian berhadapan dengan monitor komputer, memutar kembali DVD film yang berjudul Kingdom of Heaven.

Di dalam film itu, aku melihat seorang tokoh yang termasyhur dalam sejarah, yang tidak saja dikagumi oleh kawan-kawannya tapi juga mendapat reputasi besar dari musuh-musuhnya. Dia adalah Sultan Saladin (Sholahuddin Yusuf Al-Ayyubi).

Kisah Saladin–yang tersebar baik di Barat maupun di Timur–adalah kisah peperangan; Perang Salib yang panjang pada abad ke-12. Namun, baik Timur maupun Barat mengakui Saladin adalah seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah.

Ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem pada tahun 1099, 70 ribu orang muslim kota itu–tak peduli laki-laki dan perempuan–dibantai dengan cara dipenggal, dipanah, dibakar, dan dipotong-potong anggota badannya dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke Sinagog untuk dibakar. Konon katanya di Kuil Sulaiman (sekarang Masjidil al-Aqso), genangan darah mencapai setinggi lutut. Namun, ketika Saladin merebut Jerusalem di musim panas 1187, yang dilakukan Saladin bukanlah membalas dendam. Saladin malah menjadikan penduduk Kristen budak-budak yang dapat ditebus sepasang sandal. Saladin juga tetap membuka Yerusalem kepada para peziarah Kristen.

Suatu kisah yang membuat orang Eropa takjub terhadap Saladin adalah ketika Raja Richard The Lion Heart (berhati singa) sakit dalam pertempuran, Saladin mengirimkan buah pir yang segar dingin dalam salju dan juga seorang dokter kepada musuhnya itu (versi lain Saladin datang sembunyi-sembunyi ke tenda Richard, dan mengobati penyakitnya). Richard sangat terkesan dengan kebaikan musuhnya itu. Si pejuang besar itu hanya hidup 55 tahun, walau Saladin adalah Khalifah Islam ketika meninggalnya dia tidak meninggalkan harta benda yang banyak. Bahkan buku The Arabic Sources for the Life of Saladin menceritakan bahwa Saladin ketika meninggal tidak meninggalkan uang yang cukup untuk membiayai penguburannya.

Dalam suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, aku teringat salah satu asumsi yang mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi berawal dari inovasi Saladin sebagai injeksi ruh jihad kepada para prajuritnya. Tahun 1184, Saladin menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam festival itu dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat. Dalam festival itu juga diadakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujiannya bahasa yang seindah mungkin. Pemenang sayembara itu adalah Syaikh Ja’far al-Barzanji dengan karyanya Kitab Barzanji, yang sampai saat ini sering dibaca dalam peringatan Maulid Nabi oleh masyarakat muslim terutama di pondok-pondok pesantren.

Sejak awal peringatan Maulid Nabi sudah ditentang oleh segolongan ulama. Para ulama menganggap perayaan ini merupakan salah satu bid’ah. Namun, Saladin menegaskan bahwa perayaan ini hanyalah syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual sehingga tidak termasuk bid’ah terlarang.

Terlepas dari kontroversi peringatan Maulid Nabi yang sampai saat ini terus dibicarakan, Saladin berhasil mencerminkan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan, risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW benar-benar diaplikasikan olehnya. Dan melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sepertinya Saladin tidak saja ingin mengajak seluruh umat muslim untuk mengaktualitaskan cinta serta mengenang kepribadian dan perjuangan Nabi Muhammad, tapi juga mengajak umat untuk dapat menerjemahkan ketauladanan Nabi Muhammad ke dalam segala dimensi kehidupan.

Jika sekarang kita merasakan peringatan Maulid Nabi tidak mempunyai pengaruh terhadap dimensi kehidupan dan hanya seperti perayaan ‘happy birthday’ yang dibungkus verbalitas relijius sehingga menjadi suatu agenda yang harus dirayakan umat (sampai-sampai dibuatkan tanggal merah), maka mungkin kita perlu mendukung para ulama yang mem-bid’ah-kan Maulid Nabi karena akan condong kepada pengkultusan dan taqlid buta kepada budaya, adat istiadat, dan meniru ritual agama selain Islam (contoh: meniru Natalan).

Pernah muncul ide dalam benakku: Kenapa kita tidak merayakan Maulid Nabi dengan acara nonton bareng film Kingdom of Heaven? Selain film lebih efektif mempengaruhi kejiwaan; terutama remaja, juga dapat mengikis budaya Arab dalam setiap peringatan Maulid Nabi, karena segala sesuatu yang berbau Arab sering ditafsirkan masyarakat awam/umum sebagai ritual keagamaan (bukan syiar agama). Hmm.. tapi terlalu nyeleneh!

sidiq..amanah..tabligh..fathonah..” inilah potongan pujian nabi (prophetic panegyrics) yang sering aku lantunkan bersama teman-teman madrasah dan pesantren pada 15 tahun yang lalu. Empat kata sederhana yang sulit dipraktekkan, seperti semacam keyword untuk menerjemahkan ketauladanan Nabi Muhammad ke dalam segala dimensi kehidupan kita.

Said Hawwa dalam buku al-Rosul menjelaskan empat sifat esensial para rosul ini:

  1. Sidiq: Kejujuran mutlak yang tidak akan pernah dibatalkan dalam kondisi apapun!
  2. Amanah: Sikap konsistensi yang total terhadap tugas! (tidak boleh keluar dari rule yang digariskan)
  3. Tabligh: Kontinuitas penyampaian risalah secara integral walau harus menghadapi berbagai tantangan! Bahasa kitanya: terus perjuangkan sesuatu yang benar walau itu menyakitkan!!
  4. Fathonah: Kecerdasan brilian!! Ilmu sepadan dengan Iman dan Amal yang menjadi landasan ketiga sifat di atas.

Empat muwasafat (karakteristik) Rosul di atas adalah elemen dasar dari kepribadian Rosul–tanpa mengenyampingkan karakteristik lain–sehingga perlu menjadi sifat prioritas kita (jika memang ingin menjadikan Rosul sebagai teladan).

 

 

***

 

 

Setelah pembicaraan dengan Balian selesai, Saladin dan pasukannya memasuki gerbang kota suci sebagai penguasa baru kota Yerusalem. Tampak Saladin memungut tanda salib yang tergeletak di lantai dan meletakkannya di tempatnya semula. Saladin menunjukkan sikap toleransinya kepada kepercayaan yang dianut musuh. Dia tetap membiarkan Gereja dan Sinagog dan menghormati pemeluknya untuk beribadah dengan tenang dan damai.

 

Serpong, 21/03/2010

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.